Optimalisasi Penggunaan Air dan Bahan Organik Lokal pada Budidaya Tanaman Padi Metode SRI

Optimalisasi Penggunaan Air dan Bahan Organik Lokal
pada
Budidaya Tanaman Padi Metode SRI

Oleh Edial*)

I.Pendahuluan
Air merupakan senyawa yang paling banyak jumlahnya dibutuhkan makhluk khidup, pada beberapa tanaman kandungan air bahkan mencapai 90 % dari bobotnya sendiri. Di Asia lebih dari 80% air digunakan untuk irigasi dan separohnya dari total irigasi digunakan untuk budidaya tanaman padi (Bhuiyan, 1992). Disisi lain ketersediaan air per kapita kian hari semakin menurun kurun waktu 40 tahun (1955-1995) yaitu sebanyak 40%-60%, dan diperkirakan tahun 2025 ketersediaan air perkapita menurun sebanyak 15% - 54% dibandingkan tahun 1990 (Gleick, 1993). Fenomena perubahan iklim global ikut menyumbangkan andil dalam perubahan musim yang sulit diprediksi, musim kemarau basah, musim hujan kering, naiknya suhu udara, meningkatnya kelembaban udara yang memicu ledakan hama dan penyakit, banjir atau kekeringan. Penyebab utama menurunnya ketersediaan air adalah kerusakan ekosistem (lingkungan) akibat aktivitas manusia.
Tanaman untuk tumbuh dan berkembang dengan optimal dipengaruhi oleh faktor tanaman itu sendiri, dan lingkungnannya seperti tanah (hara tanaman, makhluk hidup tanah) dan iklim sekitarnya. Berkurangnya ketersedian air akan berdampak terhadap system pertanian terutama pertanian padi sawah, sekaligus akan mengancam ketahanan pangan. Ancaman tersebut lebih diperparah oleh degradasi lahan pertanian akibat pengelolaan usahatani belum selaras dengan alam.
Untuk mengantisipasi dampak tersebut Budidaya padi perlu dikaji ulang, antara lain berkenaan pengelolaan air untuk kebutuhan tanaman yang semakin terbatas, kesuburan tanah dan pengelolaan tanaman.
II.Pengelolaan Air untuk Kebutuhan Tanaman
Air yang bermanfaat bagi tanaman padi adalah air kohesi yaitu air kapiler pada mikropori tanah, yang juga dikenal sebagai air tersedia untuk tanaman. Secara umum kandungan air yang baik bagi tanaman berkisar pada kapaistas lapang (pori tanah terisi sekitar 50 % air dan 50% udara). Tanaman padi bukan tanaman air, tapi untuk tumbuh dengan baik membutuhkan air yang optimal. Kebutuhan air tanaman tersebut digunakan untuk evapotraspirasi rata-rata 4.2 mm/ha , perkolasi (1 mm/hari – 4 mm/hari) dan menjaga kondisi lembab zona akar yang disebut water consumption (ETp). Para ahli menyimpulkan bahwa kondisi air tanah yang optimal/baik untuk pertumbuhan tanaman padi berkisar pada jenuh 100% hingga Lembab(½ antara jenuh 100 % dan layu permanen), ketersediaan air diatas dan dibawah kondisi tersebut berpengaruh negative pada pertumbuhan tanaman padi. Ukuran lembab berada disekiat 70% - 80% jenuh. Kurun waktu kehilangan air antara 100 % jenuh hingga 80% dipengaruhi oleh tekstur tanah, fase pertumbuhan dan varietas tanaman, dan agroklimat. Semakin lama waktu kehilangan air dari 100% jenuh hingga 80% semakin optimal manfaat air bagi tanaman. Tanah dengan kandungan Bahan organic minimal 5 % (ideal) lebih lama menahan laju kehilangan air tanah dibanding tanah dengan bahan organic rendah (<2%). Hasil Kaji terap intensifikasi padi varitas Ciherang dan IR 64 dengan kondisi sawah lembab (aerob) mengutamakan (berbasis) bahan organik di beberapa lokasi Jawa Barat dan Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, dan Bali pada periode 2007-2008, ternyata mampu menghasilkan padi 8-12 ton/ha (peningkatan hasil rata-rata berkisar 100%-150%) jika dibandingkan dengan sistem anaerob (tergenang). Kenaikan hasil tersebut berkaitan langsung dengan meningkatnya zona perakaran hingga 4-10 kali, jumlah anakan bermalai hingga 60-80 malai/ rumpun, panjang malai 30-35 cm dan jumlah gabah 200-300 butir/malai serta meningkatnya keanekaragaman biota tanah yang menguntungkan dalam kondisi aerob (lembab), (Lukita Hasta; Kompas, 2010). Uraian diatas menggambarkan bahwa tanaman padi hanya butuh air pada kondisi macak-macak hingga lembab (berada pada jenuh 100% - 80%). Budidaya padi dengan pengelolaan air system penggenanngan (standing water) yang masih diterapkan saat ini perlu dikaji ulang. Dampak negatip penggenangan adalah : Menekan tumbuh-kembangnya akar dan anakan padi. Akar tidak dapat bernafas dengan baik, jaringan sel tanaman tidak terstruktur dengan baik, akibatnya perkembangan akar hanya 25 % dan cenderung mudah rebah. Sedangkan kekeringan menekan pertumbuhan tanaman terutama pada tinggi tanaman (kasus di petak percontohan petak tersier BG 3 Kn Tebat Jaya). Mengurangi efisiensi penggunaan pupuk karena pupuk akan mudah menguap (urea) atau terbuang. Meningkatkan pencemaran lingkungan akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca, metan (CH4), nitrogen oksida (NOx) dan H2S. Gas metan dan H2S merupakan zat penghambat respirasi (pernapasan) akar tanaman. Meningkatkan kelembaban udara sekitar tanaman (iklim mikro), hal merupakan kondisi yang baik bagi perkembangan hama dan penyakit tanaman. ( pengaturan air macak-macak hingga lembab dan pennggunaan bahan organic, tanaman padi 30 HST belum terdapat gejala serangan hama dan penyakit sehingga petani tidak melakukan tindakan pengendalian (penyemprotan), dibanding kondisi konvensional, pengalaman petani KJ3 Kr desa Trimorejo). Meningkatkan kelarutan unsure besi dan keasaman tanah, ini mengakibatkan beberapa unsure tanaman cenderung tidak tersedia dan tanaman cenderung akan keracunan hara mikro terutama besi. Menekan tumbuh dan berkembangnya mikroorganimse tanah yang berperan peting bagi agroekosistem lahan sawah. Meningkatkan in-efisiensi (pemborosan) penggunaan air hingga sekitar 40% - 50 %, sehingga berperan menurunkan nilai produkstivitas air. Keuntungan semu pola penggenangan pada budidaya padi sawah yaitu mampu menekan bertumbuh-kembangnya gulma dan serangan tikus, Solusinya untuk gulma pada budidaya padi metode SRI adalah melakukan penyiapan lahan secara baik dan penyiangan dini (12-15 HST) dengan alat siang. Sedangkan serangan tikus akan lebih efektif dengan gropyokan tikus (sanitasi lingkungan) dan tanam serentak dengan pengaturan populasi (jajar legowo) pada satuan hamparan terntentu dan mengggunakan rodentisida organik. Aplikasi tatakelola air dan sawah berawal pada penyiapan lahan yaitu pengolahan tanah sedini mungkin setelah panen, pada saat lahan masih lembab. Jerami hasil panen disemprot dengan larutan Mol lalu ditebar dan ditambah pukan 5 ton/ha. Air dalam kondisi macak-macak selama 15 hari. Pada saat penggelebekan dan perataan tinggi air sekitar 2 cm, pembuatan parit keliling petak sawah dimaksudkan sebagai tatakelola air pada petak sawah (drainasi permukaan), sekaligus untuk mengantisipasi serangan keongmas. Sedangkan tatakelola air pada pada fase pemeliharaan menggunakan metode AIRSUR (alat indicator air sawah sumuran) yang digunakan untuk mendeteksi kondisi macak-macak hingga lembab. Metode ini telah mampu meningkatkan jumlah anakan menjadi 45-50 anakan per rumpun pada umusr 45 -50 HST. Alat ini berupa paralon berlubang panjang sekitar 25 cm diameter 4“ yang ditanam dilahan sawah sehingga membentuk sumur untuk mendeteksi dinamika tinggi air pada lapisan olah. III.Pengelolaan Kesuburan Tanah Kunci kesuburan tanah saat ini lebih kepada pengelolaan kesuburan biologi tanah yaitu usaha meningkatkan kandungan bahan organic sebagai sumber energy utama bagi mikroorganisme tanah, penyedia hara tanaman, meningkatkan efisiensi pemupukan, menekan degradasi lahan dan meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan air menahan air. Budidaya padi konvensional dengan masukan instan yang mengabaikan masukan bahan organic ditengarai menyebabkan turunnya produkstivitas lahan, dan meningkatnya pencemaran lingkungan. Pemanfaatan potensi bahan organic dan mikroorganisme local yang melimpah disekitar petani merupakan cara efektif dan efisien untuk mengembalikan kesuburan biologi tanah sekaligus menyangga agroekosistem tanah dan hemat energy/biaya dan menekan pencemaran lingkungan. Minimal ada dua langkah yang dapat diterapkan yaitu jerami dan sekam langsung dikomposkan menggunakan Mol dan ditambah pukan serta penggunaan pupuk organic cair dari urine ternak atau hasil rumah pupuk organik pada fase pemeliharaan. Atau jerami digunakan sebagai sumber energy/pakan ternak lalu sebelum dikembalikan ke lahan, energy yang masih tersisa pada bahan organic dipanen dalam bentuk biogas metan (untuk masak). Rumah pupuk organic merupakan terobosan menuju kemandirian petani dalam menyediakan sarana produksi karena hasil dari rumah pupuk organic mengandung zat tumbuh, pupuk, pestisida dan mikroorganime local. Aplikasi tata kelola lahan sawah dengan masukan bahan organic yang dipadukan dengan takalelo air macak-macak hingga lembab dan pengelolaan tanaman padi metode SRI mampu meningkatkan produksi, namun apabila diterapkan dengan tatakelola air tergenang maka akan berakibat fatal bagi tanaman (tampilan daun tanaman kuning). IV.Pengelolaan Tanaman Padi Metoda SRI. Pengelolaan tanaman padi metoda SRI lebih ditujukan menjaga tanaman padi terhindar dari cekaman dan kelebihan air, unsure hara dan mikroorganime tanah sehingga tumbuh-kembang akar dan anakan produktif dapat berlangsung dengan optimal. Tahapan pengelolaan tanaman tersebut adalah menggunakan benih unggul bersertifikat, melakukan seleksi benih berdasarkan bobot, melakukan pesemaian kering, pindahtanam pada umur bibit muda (10 hari-15 hari), menggunakan jarak tanam cenderung lebar (minimal 25x25 cm) dengan metode jajar legowo, penyiangan dini (12 – 15 HST) diulang 2-3 kali, pengaturan air malem (macak-macak hingga lembab) dengan metode Airsur, pengaraman jerami dan sekam yang dikomposkan dengan bantuan Mol dan penambahan pukan pada saat pengolahan lahan, pemupukan tanaman berdasarkan analisa status hara tanah (PUTS dan BWD), pengendalian hama penyakit melalui pendekatan konsep PHT dengan mengutamakan pemanfaatan potensi local. Fase pembentukan anakan aktif berlangsung sekitar 30-40 HST tergantung varietas tanaman, ini merupakan fase kritis I baik terhadap cekaman air dan hara maupun serangan hama penggerek batang dan wereng, sebab jumlah anakan produktif merupakan penduga produksi. Fase kritis II mulai dari primordia hingga pengisian gabah, terutama berhubungan dengan serangan walang sangit, wereng, blast dan tikus menjadi hal penting. V.Hasil Akhir dan Tanggapan Petani Aplikasi Budidaya padi metoda SRI dengan mengedepankan optimalisasi penggunaan air irigasi dan pemanfaatan potensi bahan organic local melalui pendekatan pemberdayaan petani anggota P3A, diwujudkan dalam bentuk petak sawah percontohan seluas 1,2 ha. Produksi padi yang telah dicapai rata-rata 8 ton/ha – 9,2 ton/ha GKP dengan jumlah anakan produktif per rumpun > 30 dan cenderung meningkat, menekan biaya produksi yang berasal dari benih, tenaga kerja dan pupuk buatan.
Beberapa Tanggapan Petani
Pengaraman jerami dan penambahan pukan mampu menghemat penggunaan air karena rentang waktu kondisi macak-macak hingga retak halus (lembab) lebih lama, yaitu sekitar 15 - 20 hari. (petani desa rejodadi).
Penyiangan dini jauh lebih mudah dilakukan walaupun tinggi air 2 cm ( petani demonstrator TB 8 Kr dan demonstrator diseminasi KJ 3 Kr)
Kualitas hasil gabah lebih bernas dan berat.(petani Demonstrator TB 8 Kr dan demonstrator diseminasi KJ 3 Kr)
Mampu menghemat penggunaan pupuk kimia hingga 35% - 50 %, menghemat biaya penyiapan bibit hingga tanam dan penyiangan (petani Demonstrator TB 8 Kr).
Pelapukan jerami dengan penyemprotan Mol 25%-30% pada kondisi air macak-macak hingga lembab memerlukan waktu 7-10 hari saja dan pertumbuhan tanaman padi lebih baik dibanding tanpa menggunakan kompos jerami( (petani demonstrator MH. 1 Kn).
Metoda SRI berbasis masukan bahan organik dan pengaturan air malem, pembentukan anakan mencapai diatas 30 batang pada umur 25 HST, dengan kondisi vigor baik. (petani demonstrator MH 1 Kn).
*) Agronomis dan pemberdayaan petani/P3A pada program optimalisasi penggunaan air irigasi komering